Blogger Widgets
Posted by : Unknown Sunday, January 26, 2014

 

Dari sekian banyak bangunan bersejarah peninggalan Belanda di Jakarta Barat, Jembatan Kota Intan adalah salah satunya. Namun, seiring berjalannya waktu, keberadaan jembatan kayu bercat merah marun sepanjang 30 meter dan lebar 4,43 meter yang usianya lebih dari 300 tahun itu, kini kondisinya memprihatinkan karena warnanya telah pudar dan kayunya pun keropos dimakan zaman.
Kepala Unit pengelola Kawasan (UPK) Kota Tua, Gathut Dwi Hastoro menuturkan, Jembatan Kota Intan yang dibangun tahun 1628 di Jalan Kali Besar Barat, Kelurahan Roamalaka, Kecamatan Tambora, itu awalnya bernama Jembatan Engelse Brug atau Jembatan Inggris.
“Jembatan tersebut sebagai penghubung antara benteng Belanda (VOC) dan Inggris (IEC) yang saat itu berseberangan dan dibatasi oleh Kali Besar,” terang Gathut, Kamis (6/6).
Namun masih tutur Gathut kelangsungan Jembatan Engelse Burg tak berlangsung lama. Sebab, pada tahun 1629 jembatan tersebut rusak akibat serangan Kerajaan Banten dan Mataram yang menyerang Benteng Batavia. Namun karena fungsinya yang sangat vital, setahun kemudian jembatan tersebut kembali dibangun oleh Belanda dan berganti nama dengan jembatan De Hoenderpasar Brig atau Jembatan Pasar Ayam.
Selanjutnya terang Gathut, tak lama kemudian berganti nama lagi menjadi Jembatan Kota Intan karena letaknya dekat dengan salah satu Bastion Kastil Batavia bernama Bastion Diamont (intan). Dan seiring dominasi Belanda di Batavia pertengahan abad ke-17 pada era tersebut selain membangun Jembatan Kota Intan, Belanda selanjutnya banyak membangun jembatan sejenis di Batavia, yang dibangun dengan gaya tradisional belanda. Selain membangun jembatan, Belanda juga banyak membangun kanal yang berfungsi sebagai pengaturan tata air maupun untuk transportasi sungai.
“Tahun 1655 Jembatan Kota Intan kembali diperbaiki karena kerusakan akibat banjir dan korosi air laut, namanya pun kembali berganti menjadi Jembatan Het Middelpunt Brug,” jelas Gathut.
Pada 1938 fungsi jembatan diubah menjadi jembatan gantung. Tujuannya agar dapat diangkat untuk lalu lintas perahu dan mencegah kerusakan akibat banjir, namun bentuk dan gayanya tidak pernah diubah. Nama jembatan kembali berubah menjadi Jembatan Phalsbrug Juliana atau Juliana Bernhard, karena waktu itu Ratu Juliana yang menjadi ratu di Belanda.
Sebelumnya, jembatan juga diberi nama Jembatan Wilhemina (Wilhemina brug), ibu dari Juliana. Saat ini Jembatan Kota Intan merupakan satu-satunya yang tersisa dari jembatan sejenis yang pernah ada. Untuk melestarikan keberadaannya, pada tahun 1972 Gubernur DKI, Ali Sadikin, saat itu menetapkan Jembatan Kota Intan sebagai benda cagar budaya.
Di era kemerdekaan jembatan yang membelah Kali Besar Barat dan Timur ini sempat beberapa kali diperbaiki. Pada era Gubernur DKI Sutiyoso, tahun 1999 Jembatan Kota Intan direnovasi dengan menelan anggaran sekitar Rp 700 juta yang selanjutnya diresmikan April tahun 2000. Tampilan jembatan pun berubah karena setiap bentangan jembatan diberikan serat optik beraneka warna, ditambah 12 lampu sorot.
“Tapi setelah diresmikan kurang perawatan hingga delapan tahun lalu kembali diperbaiki oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Fauzi Bowo. Tapi kelar diperbaiki sampai saat ini jembatan tersebut teronggok dan ditutup,” ucap Gathut.
Saat ini kondisi Jembatan Kota Intan sangat memprihatinkan seolah terlupakan zaman. Cat warna merah marun yang menempel di kayu sudah banyak terkelupas, kayu-kayunya pun sudah retak. Bahkan, di sekeliling jembatan terlihat kumuh. Maklum, di sekeliling jembatan merupakan terminal bayangan tempat mikrolet, bajaj, dan pedagang kaki lima mangkal. Padahal, beberapa wisatawan asing dan lokal masih ramai mengunjungi jembatan tersebut, meski hanya untuk sekadar berfoto.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

- Copyright © Pena Informasi -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Candi Baroaji -